THE SELF DAN FRUSTRASI


Tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
THE SELF DAN FRUSTRASI
Dosen Pengampu : Ibu Sopiah, M.Ag.











Disusun oleh : Kelompok 9
Kelas : C
Nama
NIM
ROBIATUN
123111082
A. JAUHARI
123111083
ARWAN
123111084
MUQORROBIN
123111085
MOHAMAD ZAENI
123111086



PROGRAM PENINGKATAN KUALIFIKASI SARJANA (S1)
IAIN WALISONGO SEMARANG PROGRAM
DUAL MODE SYSTEM (DMS)
DI STAIN PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Pribadi manusia mempunyai perasaan tentang dirinya, seperti seseorang dalam suatu hal merasa lebih pintar dari orang lain, lebih tahu dari orang lain, merasa lebih cantik, lebih kaya, dan lain sebagainya, walaupun sebenarnya masih ada dan banyak orang yang lebih pintar, lebih cantik, dan lebih kaya dari dirinya. Perasaan tersebut memang terdapat pada setiap orang, itulah yang disebut dengan “Aku” atau “The self”.
Perkembangan manusia sepanjang masa, dari lahir hingga dewasa, kebutuhan-kebutuhannya tidak selalu dapat terpenuhi dengan lancar. Terkadang terjadi hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan, motif, dan keinginan. Keadaan terhambat dalam mencapai suatu tujuan dinamakan frustrasi. Keadaan frustrasi yang berlangsung terlalu lama dan tidak dapat diatasi oleh seseorang akan menimbulkan stress.
Frustrasi dapat bersumber pada hambatan yang terjadi di luar diri, maupun dalam diri seseorang. Hambatan dari luar misalnya cuaca mendung tak memungkinkan untuk menjemur kain. Hambatan dari dalam contohnya seorang gadis yang ingin mendekati laki-laki tampan namun terhambat oleh perasaan takutnya.
Kami berlima dari kelompok 9 mencoba memaparkan makalah dengan mengangkat judul The Self dan Frustasi.



BAB II
PEMBAHASAN
THE SELF DAN FRUSTRASI

Manusia dalam perkembangan dan tingkah lakunya dipengaruhi oleh faktor-faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yang sangat memegang peranan antara lain ialah pikiran dan perasaan.
Sesuatu yang ada dalam diri manusia di mana perasaan dan emosi sangat memegang peranan, yakni the self dan frustrasi inilah yang akan menjadi materi pembahasan yang akan dipresentasikan oleh kelompok kami. Pembicaraan mengenai the self dan frustrasi dianggap sangat penting karena ada hubungannya dengan soal kepribadian atau personality.

A.  The Self
1.    Pengertian The Self
Kalau kita perhatikan dalam pergaulan manusia sehari-hari, terlihat jelas oleh kita bahwa setiap manusia mempunyai anggapan dan perasaan-perasaan tentang dirinya sendiri. Seseorang mungkin merasa bahwa dia adalah sebagai seorang dai atau mubaligh yang baik. Seorang pemuda mungkin merasa, menganggap, atau berpandangan bahwa dirinya merupakan “idola wanita” di antara teman-teman sekelompoknya, atau merasa paling sesuai untuk memegang peranan tertentu dan sebagainya.
Anggapan, perasaan-perasaan, ataupun pandangan tertentu yang ada pada tiap-tiap pribadi/ada pada diri seseorang tersebut ada yang disadari dan ada pula yang tidak disadari. Bagaimana seseorang menganggap, merasa, atau memandang tentang dirinya sendiri inilah yang kita sebut the self.
Jadi, apa yang dimaksud the self itu? Dikatakan oleh seorang tokoh dengan nama Sartain mengenai the self bahwa : “ The self is the individual as known to and felt about by the individual”. Apabila pengertian tersebut kita terjemahkan secara bebas maka dapat kita pahami bahwa the self adalah individu sebagaimana dipandang/diketahui dan dirasakan oleh individu itu sendiri.
Oleh itulah perkataan atau istilah the self berarti meliputi semua penghayatan, anggapan, sikap, dan perasaan-perasaan, baik yang disadari maupun yang tidak disadari, yang ada pada diri seseorang tentang dirinya sendiri.
Penghayatan atau anggapan yang dipunyai diri seseorang tentang dirinya sendiri yang disadari inilah yang disebut self picture (gambaran diri). Yakni penghayatan tentang siapa, apa, dan bagaimana sebenarnya dia itu menurut anggapannya.
Jadi the self yang ada pada tiap-tiap manusia itu mengandung dua hal yaitu:
a.    Self picture, yakni menghayati; dan perasaan-perasaan seseorang tentang dirinya sendiri yang disadari.
b.    Perasaan-perasaaan dan sikap-sikap seseorang tentang dirinya sendiri yang tidak disadari.
Tentu saja di antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan (benar-benar disadari, agak disadari, kurang disadari, dan tidak disadari)
Ada tiga kemungkinan mengapa kita memiliki anggapan dan perasaan-perasaan tentang diri kita sendiri yang tidak disadari. Pertama, mungkin kita memang benar-benar tidak dapat menyadari (menjadi sadar) beberapa bagian daripadanya. Kedua, beberapa faktor tentang kita mungkin sedemikian rumitnya bagi kita, sehingga sukar atau tidak mungkin bagi kita untuk memepercayai atau mengetahuinya. Ketiga, beberapa faktor tentang kita tidak layak atau tidak sesuai bagi self picture kita, atau di luar yang kita kehendaki untuk dipercaya, sehingga dengan demikian kita menekannya ke dalam ketidaksadaran kita (represi).
The self tidak hanya meliputi apa yang ada di dalam diri seseorang, tetapi juga apa yang ada di luar diri seseorang tersebut seperti pakaiannya, keluarganya, rumahnya, teman sejawatnya, perkumpulannya, dan lain-lain yang menyangkut diri pribadinya. Demikianlah sangat mungkin bagi seseorang untuk membuat sesuatu di luar the self menjadi suatu bagian dari the selfnya. Proses ini terjadi dengan adanya identifikasi dan keterlibatan diri (ego involvement). Jika kita telah mengidentifikasikan diri dengan sesuatu, atau telah melibatkan diri ke dalam sesuatu di luar diri kita, maka mungkin kita akan turut merasakan dan mungkin bahkan mengorbankan diri kita sepenuhnya bagi sesuatu di luar diri kita yang telah menjadi bagian dari the self kita. Beberapa contoh sebagai penjelasan: baju atau pakaian yang kita pakai ataupun yang ada di dalam lemari di rumah kita, adalah termasuk the self kita. Bagaimana kalau pakaian yang kita pakai disobek orang? Atau pakaian di rumah dicuri orang? Tentu kita akan marah, kesal, atau merasa sedih dan berusaha mencarinya.
Bagaimana pula reaksi ita kalau salah seorang anggota keluarga kita difitnah atau dianiaya oleh orang lain? Atau jika saudara kita maupun teman sejawat kita ada yang mendapat kecelakaan? Dengan contoh-contoh ini jelas kiranya bahwa the self tidak hanya mengenai penghayatan perasaan-perasaan yang kita miliki tentang diri kita, tetapi juga segala sesuatu dengan mana kita telah mengidentifikasikan diri atau telah melibatkan diri kita kepadanya.
Hal lain tentang the self yang penting pula kita ingat adalah: bahwa the self tidak selalu tetap. Pada suatu situasi tertentu mungkin the self itu berlainan dengan di saat situasi yang lain. Atau dengan kata lain penghayatan dan perasaan-perasaan kita tentang diri kita sendirimungkin berubah atau berlainan disebabkan situasi-situasi yang kita hadapi berbeda-beda. Dengan demikian maka the self tidaklah selalu sama. Pada suatu situasi tertentu mungkin kita merasa diri superior, sedangkan pada situasi lain merasa diri inferior.
Akan tetapi meskipun tingkah laku yang menunjukkan the self kita pada orang lain kelihatannya berubah-ubah atau berbeda-beda menurut situasi yang dihadapi. Pada umumnya secara keseluruhan the self itu menyatakan diri dalam tingkah laku yang hampir boleh dikatakan tetap pada tiap-tiap orang. Dengan kata lain meskipun terdapat adanya perubahan-perubahan karena situasi, secara relatif the self itu adalah kontinyu dan stabil atau tetap. Oleh karena itu dengan mengetahui the self seseorang sedikit banyaknya kita telah dapat mengetahui sebagian dari sifat kepribadian orang tersebut.
Kalau kita teliti kembali mulai dari permulaan pembahasan makalah ini, dapatlah kita mengatakan bahwa the self dan self picture belum tentu sesuai dengan keadaan kita (diri kita) yang sebenarnya. The self bukanlah apa sebenarnya kita itu, melainkan hanyalah apa yang kita hayati, kita pikirkan, dan kita rasakan tentang kita. Juga bukanlah apa yang kita nyatakan terhadap diri kita sendiri, the self is not what we are, but only what we think and fell that we are. Like wise it is not what we appear to others to be but what we appear to our selves to be (Startain p. 105)

2.    Faedah The Self  bagi Tiap-tiap Orang
Sehubungan dengan apa yang baru saja diuraikan di atas, pada umumnya the self berguna bagi tiap-tiap orang yang bersangkutan. Tentu saja baik buruknya atau berguna tidaknya the self itu bagi orang yang bersangkutan tergantung pada sesuai atau tidaknya the self itu dengan keadaan yang sebenarnya dari diri orang itu. Makin sesuai the self itu dengan keadaan diri yang sebenarnya, makin memudahkan orang itu untuk berinteraksi dengan lingkungannya, terutama dalam pergaulannya dengan orang lain. Sebaliknya semakin berbeda the self dengan keadaan (siapa, apa, dan bagaimana) sebenarnya diri orang itu, makin menyulitkan pergaulan dan kehidupannya. The self yang ada pada tiap-tiap orang dapat dijadikan ukuran bagaimana perasaaan harga diri orang itu; bagaimana dan sampai di mana ia menilai dan memandang dirinya.
Dari pengalaman, kita mengerti bahwa tiap-tiap orang jika mendapat serangan dari orang lain (dihina, dimarahi, dan sebagainya) mudah menjadi sakit hati atau tersinggung perasaannya, meskipun ia perlihatkan dengan nyata atau tidak. Sebaliknya jika ia disanjung atau dipuja, ia akan merasa senang dan bangga. Demikianlah sebagian waktu dan tenaga kita pada umumnya digunakan untuk memepertahankan dan memuaskan the self. Kita melindungi diri, mempertahankan diri kita dari kehilangan penghargaan atau kehormatan dalam pandangan kita sendiri, dan berusaha membuat diri kita terpuji dan dihormati.
Usaha atau cara-cara bagaimanakah yang mungkin dilakukan seseorang untuk melindungi atau mempertahankan the selfnya? Menurut Sartain cara-cara seseorang mempertahankan (dan kadang-kadang juga untuk memuaskan) the self dapat dibagi menjadi empat golongan:
1.    Dengan menyerang kepada sumber-sumber yang menyebabkan frustasi
Seseorang yang dihina oleh orang lain, kemudian ia melawan orang yang menghinanya itu. Contoh konkret, dalam sebuah permainan seorang anak meminta kelereng kepada teman bermainnya tetapi tidak diberi, kemudian anak tersebut memukul atau melempari teman bermainnya itu.
2.    Dengan mengelakkan atau menghindarkan diri dari situasinya.
Contohnya adalah seseorang berhasrat main bulu tangkis, akan tetapi ia mengetahui bahwa kalau ia bermain, mungkin ia akan kalah karena lawannya kuat, dan ia akan dicemoohkan atau turun nilainya dalam pandangan orang lain. Untuk mempertahankan the selfnya, ia berusaha agar tidak jadi bermain.
3.    Dengan memperbaharui atau mengubah lingkungan sekitarnya (situasinya)
Pengubahan lingkungan yang dimaksud ini hanyalah dalam angan, pikiran, dan persepsi/penglihatannya tentang lingkungan itu. Contohnya ialah apa yang disebut autisme, yakni kecenderungan dari perasaan-perasaan dan emosi-emosi kita untuk memutarbalikkan atau membelokkan proses-proses intelektual kita. Dengan kata lain autisme adalah tingkah laku yang menunjukkan kecenderungan untuk melihat apa yang ingin kita lihat, dan mempercayai atau membenarkan apa yang ingin kita benarkan/percayai.
Autisme terjadi secara tidak disadari. Dalam hal demikian kita dipengaruhi oleh kebutuhan atau perasaan kita itu. Contoh yang lebih konkret adalah seseorang menyengaja menyaksikan pertandingan sepak bola antara dua kesebelasan yang sudah terkenal keunggulannya. Ia sendiri sebenarnya adalah salah satu anggota dari salah satu tim kesebelasan tersebut yang tidak ikut bermain. Permainan berlangsung sangat gencar, dan kedua kesebelasan itu sama-sama saling bergantian menyerang. Karena banyak terjadi pelanggaran dan kecurangan-kecurangan, wasit berkali-kali membunyikan peluitnya. Bagaimana perasaan orang tadi ketika melihat situasi yang demikian ini? Secara tidak sadar, ia ingin melihat apa yang sebenarnya ia ingini, yakni agar kesebelasan timnya menang. Karena motif yang ada dalam dirinya (tidak disadari), maka bagaimanapun obyektifnya tindakan wasit terhadap kedua kesebelasan itu dia akan menganggap atau memandang bahwa wasit itu bertindak berat sebelah atau tidak adil. Apalagi jika kesebelasannya ternyata kalah.
4.    Dengan membangun kembali atau mengubah the self
Tidakk jarang kita memandang atau menilai diri kita yang sebenarnya tidak sesuai dengan diri kita yang sesungguhnya. The self kita tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kita itu.
Pada saat-saat tertentu hal yang demikian mungkin menyebabkan kita mengalami ketidakpuasan atau tersinggung the selfnya. Untuk memepertahankan atau memuaskan the selfnya itu, boleh jadi kita harus mengubah pandangan kita terhadap diri kita sendiri.

Di samping cara-cara umum tersebut di atas, ada pula cara-cara lain (yang lebih terperinci) yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan atau memuaskan the selfnya. Atau dengan kata lain, bermacam-macam reaksi yang  dilakukan seseorang terhadap frustrasi yang dialaminya.

B.  Frustrasi
1.    Pengertian Frustrasi
Sebelum kita uraikan lebih lanjut apakah yang dimaksud dengan frustrasi, perlu kiranya dipaparkan di sini bahwa yang mula-mula mengemukakan pendapat akan pentingnya frustrasi itu diselidiki adalah Freud, pelopor ilmu jiwa yang disebut psiko-analisis, beserta sarjana-sarjana modern lainnya. Menurut aliran ilmu jiwa modern dinyatakan bahwa di dalam diri manusia itu terdapat dorongan-dorongan batin yang dapat mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan manusia.
Agresi terjadi bila hasrat atau dorongan dalam batin seseorang tidak dapat terpenuhi karena suatu rintangan. Jika hasrat dalam batin kita tidak diberi kepuasan, tidak dapat terpenuhi karena suatu rintangan, dan kita merasa sangat kecewa karenanya, maka hal itu kita namakan frustrasi.
Jadi, frustrasi sebenarnya ialah keadaan batin seseorang, ketidakseimbangan dalam jiwa, suatu perasaan tidak puas karena hasrat atau dorongan yang tidak dapat terpenuhi. Kata frustrasi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris frustration yang artinya kekecewaan. Demikianlah kita dapat mengetahui bahwa agresi itu muncul oleh adanya frustrasi. Tetapi tidak semua frustrasi itu akan menimbulkan agresi pada seseorang. Demikian pula agresi tidak selalu tertuju kepada yang menyebabkan frustrasi. Agresi dapat juga ditujukan pada pihak lain yang tidak bersalah (tidak berdosa) sedikitpun juga.

2.    Rintangan-rintangan yang Dapat Menimbulkan Frustrasi
Frustrasi itu dapat terjadi bila hasrat batin yang kuat tidak dapat terpenuhi, biarpun orang itu telah berusaha keras. Woodworth dalam bukunya psychology mengemukakan bahwa rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan frustrasi itu dapat dibagi menjadi 4 golongan:
a.    Rintangan-rintangan yang bukan manusia
Contoh: seorang kusir (sais) ingin cepat-cepat mengemudikan delmannya menuju ke stasiun kereta api untuk mengambil penumpang turun dari kereta api cepat yang sebentar lagi datang. Tiba-tiba ditengah-tengah jalan kudanya mogok tidak mau laju karena kelelahan dan lapar. Lama sang sais berusaha mencambuki kudanya dengan maksud supaya lekas lari, tetapi sia-sia belaka. Sambil bersungut-sungut dan marah dipukulinya kudanya sekuat-kuatnya, tetapi hasilnya tidak ada.
b.    Rintangan-rintangan yang disebabkan orang lain
Frustrasi yang disebabkan oleh seseorang pada umumnya lebih mengganggu atau lebih terasa daripada yang disebabkan oleh sesuatu yang bukan manusia. Mungkin karena seseorang itu lebih dapat mengeluarkan pendapatnya, dan lebih dapat merasakan daripada benda tidak berjiwa.
c.    Pertentangan antara motif-motif positif yang terdapat dalam diri orang itu
Contoh: seorang gadis mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu pesta dansa. Tetapi pada malam itu juga ia berhasrat menyenangkan ibunya yang sangat dicintainya, yang sebenarnya tidak menyukai kepergiannya ke pesta itu. Jika kedua motif itu sama kuat dan seimbang, sukarlah bagi si gadis itu untuk memilih mana yang akan dilaksanakan.kedua motif itu sama baiknya. Pergi ke pesta berarti ia akan mengecewakan ibunya yang tercinta, dan ia sendiri merasa tidak senang pula. Manakah yang akan dipilaih?
Demikian pula di dalam diri ibunya terjadi suatu perasaan tidak enak. Sebagai seorang ibu yang sejati, ia harus dapat menyenangkan hati anaknya. Tetapi di samping itu juga, ia harus bertanggung jawab atas pendidikan anaknya tersebut. Pertentangan antara keinginan untuk menyenangkan hati anaknyadengan tidak menghalangi keinginannya dan perasaan tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya, menimbulkan frustrasi pula dalam diri sang ibu.
d.   Pertentangan antara motif positif dan motif negatif yang terdapat dalam diri orang itu
Motif-motif negatif yang biasanya menimbulkan pertentangan dalam diri seseorang untuk mencapai satu tujuan (motif positif) antara lain ialah: kemalasan, takut akan hukuman, merasa bersalah atau berdosa.
Sebagai contoh seseorang menginginkan agar halaman sekitar rumahnya menjadi bersih dan teratur, sehingga tamu-tamu yang datang kerumahnya akan merasa senang dan memujinya. Seluruh keluarganya pun akan gembira karena anaknya dapat bermain-main dengan bebas, terhindar dari kecelakaan-kecelakaan dan penyakit. Tetapi karena kemalasannya itu, halaman yang kotor dan rumput yang sudah hampir menjalar ke rumah itu tetap dibiarkannya. Tiap hari orang itu melihat keadaan rumahnya yang kotor dengan perasaan tidak senang.
Contoh lain: pada suatu malam si Amir ingin sekali menonton wayang di suatu hajatan yang tidak jauh dari rumahnya. Kebetulan malam itu bukan malam Minggu, jadi ia harus belajar sebagaimana biasa. Akan tetapi keinginannya untuk menonton itu tetap kuat. Akan meminta izin kepada ayahnya tidak berani, karena sudah barang tentu ayahnya tidak mengizinkannya. Akan pergi dengan diam-diam meninggalkan pelajarannya, iapun takut pula. Akhirnya dengan hati yang gelisah, ia tetap belajar di rumahnya.

3.    Reaksi-reaksi yang Mungkin Timbul Karena Adanya Frustrasi
Frustasi itu dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam, berlainan pada setiap orang. Hal ini bergantung kepada tabiat dan temperamen masing-masing dan bergantung pula kepada keadaan tiap orang yang memang tidak sama.
Reaksi-reaksi yang menimbulkan frustasi  yaitu:
a.    Agresi
Sering kali frustasi itu menimbulkan agresi, yaitu reaksi menentang atau suatu serangan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Reaksi agresi banyak kita jumpai pada kehidupan kanak-kanak, karena kanak-kanak itu umumnya masih sangat dipengaruhi oleh perasaannya yang subyektif.
Orang-orang mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat dari frustasi itu mungkin timbul perasaan-perasaan jengkel atau perasaan-perasaan agresif.
Perasaan-perasaan agresif ini kadang-kadang dapat disalurkan kepada usaha yang positif, tetapi kerap kali perasaan tersebut meluap-luap dan mencari outlet-nya, jalan keluarnya, sampai dipuaskannya dengan tindakan-tindakan yang agresi. Apabila seseorang secara pribadi mengalami frustasi yang ingin dipuaskannya secara agresif ia mungkin menendang kursinya atau memperlihatkan kejengkelannya dengan cara lain. Tetapi apabila segolongan orang mengalami frustasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan mudah sekali perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada segolongan lain yang di persangkainya.
b.    Mengundurkan diri
Perhatikan contoh reaksi berikut:
Ketika pulang dari sekolah, Aminah melihat sepiring kue yang terletak di atas meja. Waktu itu pula ia melihat adiknya si Tuti yang berumur 2 tahun sedang merengek-rengek memukuli ibunya, karena meminta kue itu, tetapi ibunya tidak memberi. Ibu akan membagi kue itu sesudah anak-anak semua sudah selesai makan siang. Sebenarnya si Aminah ingin sekali memakan kue itu, dan ingin lekas-lekas mengecapnya. Tetapi ia tidak berani memintanya. Dengan hati yang kecewa karena keinginannya belum terkabulkan, ia keluar bermain-main di belakang rumahnya. Reaksi yang timbul pada si Aminah disebut reaksi mengundurkan diri. Ia tidak berani memaksa keinginannya itu kepada ibunya, ia tidak berdaya mencapai keinginannya itu. Reaksi mengundurkan diri ini tidak hanya terdapat pada anak-anak, tetapi juga pada orang dewasa.
c.    Regresi
Kadang-kadang frustasi itu dapat menimbulkan reaksi sebagai berikut: Si Ardi duduk dikelas VI SD. Pada suatu hari ia meminta uang kepada ibunya untuk membeli layang-layang, tetapi tidak diberi. Mula-mula si Ardi merengek-rengek terus kepada ibunya, tetapi tetap tidak diberi uang. Lama kelamaan makin keras tangisnya dan ia berguling-guling menangis di depan ibunya, dengan maksud supaya ibunya merasa kasihan dan segera memberinya uang. Perbuatan si Ardi sudah tidak pantas lagi bagi anak yang berumur 10 tahun. Perbuatan demikian adalah perbuatan anak yang berumur 3 tahun. Jadi kelakuan si Ardi itu sebenarnya menunjukkan suatu kemunduran, ditinjau dari perkembangan jiwanya menurut umurnya. Reaksi itu dinamakan dengan regresi atau kemunduran.
d.   Fiksasi (fixation)
Dalam usahanya menghadapi kegagalan-kegagalan seseorang kadang-kadang tergelincir kedalam ulangan tingkah laku yang begitu-begitu juga (tetap) sehingga tidak sampai kepada pemecahan masalah yang dihadapinya. Reaksi demikian terlihat pada eksperimen-eksperimen yang dilakukan terhadap binatang-binatang, dan terlihat pada tindakan-tindakan terpaksa pada orang-orang yang malajusted (bertindak salah) seperti, orang yang mempunyai cacat atau kebiasaan tertentu disuruh mengubahnya tetapi tidak dapat.
Reaksi-reaksi terhadap frustrasi yang bersifat primitive seperti di atas tidak dipelajari melalui pengalaman-pengalaman, melainkan merupakan reaksi individu yang bersifat alami (natural reaction) terhadap pernyataan frustrasinya. Tentu saja belajar dapat mengubah tingkah laku frustrasi tersebut jika diikuti oleh beberapa penguatan atau bantuan, terutama kemauan.
e.    Represi
Ada frustasi yang dapat menimbulkan reaksi mengundurkan diri. Tetapi tidak semua frustasi dapat dihilangkan dengan cara demikian. Ada kalanya frustasi itu berlangsung lama dan berkali-kali timbul.
Jika reaksi “mengundurkan diri” itu terus-menerus dilakukan setiap kali timbul frustasi, mungkin ia akan dapat melupakan sehingga ia melupakannya. Menurut pendapat ahli psikoanalisis, keinginan-keinginan atau dorongan yang telah menimbulkan frustasi itu telah didesak masuk ke dalam ketidak sadaran. Reaksi demikian disebut represi, yang berarti juga pendesakan. Tetapi sesungguhnya frustasi itu belum dapat hilang seluruhnya, karena keinginan-keinginan yang telah didesakkan itu tetap hidup didalam ketidaksadarannya.
f.     Gangguan psikosomatis
Reaksi represif belum tentu dapat menghilangkan frustrasi. Keinginan-keinginan dan pengalaman-pengalaman yang telah terdesak kedalam ketidaksadaran itu masih tetap hidup dan sewaktu-waktu dapat keluar berupa mimpi-mimpi atau berubah menjadi suatu penyakit. Yaitu penyakit jasmani yang disebabkan karena gangguan jiwa, psikomatis; seperti pingsang, penyakit histeri dan sebagainya.
Sebagai contoh: Pada suatu hari di suatu sekolah lanjutan kelas tertinggi ada seorang anak perempuan yang pingsang mendadak. Seorang guru pendidikan jasmani dan seorang ilmu hayat yang sedikit banyaknya sudah mengetahui soal penyakit tersebut, datang menolongnya. Berbagai akal dan usaha dilakukan untuk menyembuhkan dan menyadarkan anak tersebut, tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Anak perempuan itu tetap dalam keadaan tidak sadar, dan sekali-kali keluar kata-kata dari mulutnya yang tidak begitu jelas apa arti dan maksudnya.
Anak perempuan tersebut adalah anak kelas tinggi yang sebentar lagi akan menempuh ujian penghabisan. Di rumahnya ia selalu menderita tekanan jiwa yang disebabkan perlakuan orang tuanya. Banyak kata-kata dan kemauan orang tuanya yang bertentangan dengan keinginannya dipaksakan kepada anak itu. Perasaan tidak puas (frustrasi) ini telah lama dipendam di dalam hatinya. Tambahan pula diwaktu ia sedang berusaha belajar keras untuk menghadapi ujian penghabisan. Singkatnya, penyakit yang diderita anak perempuan itu sebenarnya adalah reaksi yang tidak disadari terhadap frustrasi yang telah lama dialaminya.
Demikian telah jelas bahwa reaksi yang timbul karena frustrasi itu ada bermacam-macam. Semua reaksi yang telah terpapar di atas dinamakan reaksi negatif atau reaksii yang tidak memuaskan si penderita. Juga orang lain. Dengan reaksi-reaksi tersebutketegangan frustrasi tidak hilang. Umumnya reaksi-reaksi tersebut di atas oleh si penderita frustrasi tanpa pikiran, lebih dipengaruhi oleh perasaannya.
Di samping reaksi-reaksi tersebut di atas, ada lagi beberapa reaksi yang lebih rasional yang perlu pula dipaparkan, yaitu:
g.    Rasionalisasi
Seseorang telah gagal dalam mencapai maksudnya. Karena kegagalannya itu timbullah dalam pikirannya (rasionya) suatu pertanyaan, mengapa ia sampai gagal. Biasanya dengan hal yang demikian orang lebih suka mencari sebab-sebab kegagalannya dengan meletakkan kesalahan kepada orang lain atau pada suatu yang dianggap ada hubungannya, daripada mencari kesalahan dalam dirinya. Umpamanya, seseorang gagal dalam mengerjakan suatu tugas, kemudian ia berkata bahwa pekerjaan itu terlalu berat atau terlalu sulit. Mungkin juga ia mengatakan bahwa orang lain curang, tidak dapat bekerja sama dan lain-lain.
Kata-kata yang dilemparkannya kepada orang lain untuk menutupi kegagalan itu dapat juga menjalar menjadi perdebatan atau permusuhan, sehingga menyebabkan orang lain marah atau hilaf. Juga biasanya seseorang yang mengalami kegagalan itu berusaha menyelamatkan dirinya dan mempertahankannya dengan menggunakan keterangan-keterangan yang memuaskan bagi dirinya, yang mungkin juga memang benar, seperti dengan mengatakan, Pekerjaan itu memang baik tetapi hal itu tidak termasuk tugas saya dan tidak ada kepentingan bagi diri saya. Jadi biarpun gagal (tidak dapat), saya tidak merasa kecewa dan saya masih dapat bergembira, atau ah, tentang kelupaan saudara mengundang kami ketika saudara berhajat menyunati anak saudara, itu tidak jadi apa. Setelah kami mendengar bahwa hajatan saudara itu berlangsung dengan lancar dan selamat, itu sudah menyenangkan hati kami.
h.    Proyeksi (projection)
Proyeksi adalah kebalikan dari identifikasi, yakni bukan kita menjadi dia, tetapi dia menjadi kita. Proses ini sering tidak disadari. Dalam arti bahwa orang yang bersangkutan mengutuk kesalahan-kesalahan pada diri orang lain yang sebenarnya merupakan kelemahan-kelemahan sendiri, seperti: saya tidak salah dan saya tidak benci, saya tidak marah pada orang-orang itu, melainkan merekalah yang membenci saya.
i.      Sublimasi
Di dalam reaksi ini terdapat suatu usaha untuk melepaskan diri dari kegagalan dan ketidakpuasan dengan jalan mencari kemungkinan yang lebih baik dalam mencapai tujuan. Bahkan kalau perlu dengan jalan mengubah tujuan yang sama sekali berbeda dengan tujuan menimbulkan frustrasi.
Sebagai contoh, seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis, tetapi tidak tercapai keinginannya karena tidak disetujui oleh gadis harapannya, dapat mengalihkan tujuannya dengan cara menulis karangan-karangan atau syair pemujaan mengenai si gadis, dan lain-lain, sehingga mungkin menjadi seorang seniman yang ternama.
Seorang gadis yang patah hati dan putus asa karena percintaan yang gagal yang pernah dialaminya, mungkin dapat menghilangkan ketegangan jiwa dan keputusasannya dengan jalan  memasuki jabatan sebagai perawat di rumah sakit atau sebagai pengaruh anak-anak yatim piatu.
Para ahli psikoanalisis yang mula-mula (Freud dan kawan-kawannya) berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan seni memang merupakan sublimasi (penyaluran jiwa) dari suatu frustasi yang disebabkan karena dorongan nafsu seksual.
j.      Kompensasi
Reaksi atas frustrasi dapat juga berupa suatu perbuatan yang disebut kompensasi. Kompensasi hampir bersamaan dengan sublimasi, yakni penyaluran jiwa dengan jalan mengalihkan usaha ke arah tujuan atau perbuatan lain, guna mencapai kepuasan. Tetapi terutama kompensasi itu dilakukan oleh seseorang yang menderita perasaan kurang harga diri yang disebabkan oleh cacat tubuh, kebodohan, kemiskinan, ketidaksanggupan mencapai sesuatu.
Seorang murid yang tidak pandai dalam suatu mata pelajaran mungkin ia akan mencari jalan agar dapat menarik perhatian teman-temannya dengan jalan membuat gaduh di waktu pelajaran itu, atau mungkin ia akan mencari prestasi yang lebih tinggi dari teman-temannya pada mata pelajaran lain.
k.    Berkhayal atau melamun (fantasy or day dreaming)
Karena mengalami kegagalan dalam usahanya, seseorang dapat mencari kepuasannya dalam fantasi atau berkhayal sesuai dengan yang dicita-citakannya. Dengan berkhayal itu seolah-olah ia telah mencapai apa yang diharapkannya. Hal dapat pula dilakukan dengan menonton bioskob atau dengan menbaca cerita-cerita, kemudian ia mengidentifikasikan dirinya  dengan pelaku-pelaku dalam bioskob atau cita-cita yang dia inginkan.
4.    Pendidikan dan Frustasi
a.    Masyarakat dan Frustasi
Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia saling pengaruh-mempengaruhi, tolong-menolong, dan bantu-membantu. Tiap-tiap manusia mempunyai peranan masing-masing dalam masyarakat. Tiap-tiap orang sebagai anggota suatu masyarakat harus mengetahui dan dapat menjalankan kewajibannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat itu. Suatu masyarakat akan berjalan dan berkembang biak jika tiap-tiap anggotanya dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Penyesuaian diri itu bukan hal yang mudah. Di dalam masyarakat terdapat golongan-golongan yang tertentu yang berlainan jiwa, tugas dan kewajibannya. Ini adalah masalah sosiologis.
Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bagaimana usaha kita mendidik anak-anak agar bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat. Tujuan pendidik yang terpenting adalah memimpin perkembangan anak menjadi manusia yang dapat hidup dalam masyarakat, mengetahui dan dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Hal ini berarti bahwa anak-anak harus kita didik supaya mematuhi dan menjalankan peraturan-paraturan dan dapat menempatkan dirinya sesuai dengan peranan masing-masing dalam masyarakat.
Menyesuaikan diri berarti menjumpai dan mengalami bermacam-macam situasi yang penuh ketegangan-ketegangan atau frustasi. Setiap orang ingin hidup bebas, hidup yang sesuai dengan keinginan dan kemauan masing-masing. Peraturan-peraturan dan adat istiadat serta kehidupan masyarakat seringkali bertentangan dengan kehendak setiap orang. Biarpun demikian tidak seorang pun yang ingin hidup sendirian, hidup diluar masyarakat.
b.    Sekolah dan Frustasi
Sejak anak itu dilahirkan dalam lingkungan keluarga, banyak sekali hal-hal dan peraturan-peraturan yang tidak menyenangkan baginya, yang bertentangan dengan kemauan dan keinginannya, tetapi harus diterima dan dipatuhinya. Anak harus berkembang menjadi anggota masyarakat. Karena itu, sejak kecil anak harus dibiasakan “menyesuaikan diri” dalam masyarakat.
Menyesuaikan diri itu ternyata bukan soal mudah, sebab menyesuaikan diri berarti berani mengahadapi bermacam-macam situasi yang penuh dengan frustasi dan ketegangan-ketegangan.
Sekolah berkewajiban membantu anak dalam hal “menyesuaikan diri” dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini sekolah merupakan jembatan antara lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, sekolah hendaklah mengingat dan berpedoman kepada kehidupan anak sebelum masuk sekolah, dan mengingat pula tuntutan-tuntutan masyarakat yang harus di jalankan anak disekolah.
c.    Sikap Pendidik
Ada orang yang berpendapat adalah mendidikan anak hendaklah membiarkan pertumbuhan anak itu menurut alamnya. Pendidik harus memberi kesempatan kepada anak untuk menuruti semua kehendaknya. Dengan demikian si anak tidak mengalami frustasi dan dapat berkembang dengan semestinya.
Sikap pendidik yang baik yaitu:
1.    Pendidik tidak boleh bersikap terlalu keras terhadap anak didiknya.
Dengan kekerasan dan paksaan, anak tidak akan dapat mematuhi peraturan-peraturan karena banyak mengalami frustasi. Anak hanya menuruti peraturan-peraturan itu Karena ketakutan bukan karena keinsafan dalam diri sendiri. Sikap keras dan paksaan dapat pula menghasilkan yang sebaliknya, yakni sikap menentang dan keras kepala.
2.    Sebaliknya sikap yang terlalu lunak dan lemah dari si pendidik tidak dapat dibenarkan pula. Sikap demikian akan menyebabkan anak selalu berbuat sehendak hatinya, tidak tahu dan tidak dapat mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Ia bersifat membangkang. Ia tidak berhasil menyesuaikan dirinya dalam masyarakat.



BAB III
PENUTUP

Dari uraian makalah di atas dapat kami simpulkan bahwa:
o  The self adalah individu sebagaimana dipandang/diketahui dan dirasakan oleh individu itu sendiri.
o  The self meliputi semua penghayatan, anggapan, sikap, dan perasaan-perasaan, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
o  The self mengandung dua hal yaitu: Self picture (yang disadari) dan yang tidak disadari.
o  The self yang ada pada tiap-tiap orang dapat dijadikan ukuran bagaimana perasaaan harga diri orang itu; bagaimana dan sampai di mana ia menilai dan memandang dirinya.
o  Frustrasi ialah keadaan batin seseorang, ketidakseimbangan dalam jiwa, suatu perasaan tidak puas karena hasrat atau dorongan yang tidak dapat terpenuhi
o  Rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan frustrasi dibagi menjadi 4 golongan yaitu: rintangan-rintangan yang bukan manusia, rintangan-rintangan yang disebabkan orang lain, pertentangan antara motif-motif positif yang terdapat dalam diri orang itu, dan pertentangan antara motif positif dan motif negatif yang terdapat dalam diri orang itu.
o  Reaksi-reaksi yang menimbulkan frustasi  yaitu: agresi, mengundurkan diri, regresi, fiksasi, represi, gangguan psikosomatis, rasionalisasi, proyeksi, sublimasi, kompensasi, dan berkhayal atau melamun.
Demikian papran makalah kelompok kami. Upaya maksimal telah kami usahakan. Namun keterbatasan kemampuan, harus kami sadari. Oleh karena itu mohon koreksi, kritik, maupun saran atas segala kekurangan dan kekeliruan.



REFERENSI

o  M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1990

Komentar

Postingan Populer