Mata Kuliah : Studi Hadis Integratif
DosenPengampu: Dr. Zawawi, Lc. M.A
HADIS TENTANG MIMPI BERTEMU
RASULULLAH
DAN
HADIS TENTANG ISBAT AWAL BULAN
QAMARIYAH
Oleh:
Nama :MUQORROBIN
NIM : 2052114001
Kelas : PPs A
Semester : I
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PEKALONGAN
2014
PENDAHULUAN
Kata hadis berasal dari
bahasa Arab. Hadis menurut bahasa artinya baru.1 Masih menurut
bahasa, hadis berarti sesuatu yang dibicarakan atau dinukil. Adapun menurut
istilah ahli hadis, hadis diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah
beliau, baik setelah kenabian atau sebelumnya.
Adapun menurut ahli ushul fiqh,
hadis adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw. setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian, tidak dianggap sebagai
hadis.2 Mengapa demikian? Karena yang dimaksud dengan hadis adalah
mengerjakan apa yang menjadi konsekwensinya. Ini tidak dapat dilakukan kecuali
dengan apa yang terjadi setelah kenabian.
Hadis menjadi sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an. Para sahabat di masa Nabi Muhammad saw. masih hidup,
mengambil hukum-hukum Islam (syariat) dari al-Quran al-Karim yang mereka terima
dari Nabi Muhammad saw. Dalam hal tersebut, kerap kali al-Quran membawa
keterangan-keterangan yang bersifat mujmal (global), tidak mufashshal
(terperinci), kerap kali membawa keterangan-keterangan yang bersifat muthlaq
tidak muqayyad. Contohnya adalah perintah sholat dalam al-Quran.
Perintah sholat dalam al-Quran
mujmal sekali. Tidak menerangkan bilangan rokaatnya. Tidak menerangkan haiat-nya,
tidak menerangkan kadar-kadarnya, dan tidak pula menerangkan syarat-syaratnya.
Lantaran demikian, para sahabat perlu kembali kepada Nabi Muhammad saw. untuk
mengetahui penjelasan-penjelasan yang diperlukan bagi ayat-ayat al-Quran yang
sedemikian sifatnya. Maka diperlukan ketetapan Nabi Muhammad saw. yang telah
diakui sebagai utusan Allah swt. untuk menyampaikan syariat dan undang-undang
kepada umat.3
Sebagai sumber hukum, hadis perlu
dipahami dengan benar, karena terkadang untuk menentukan otentisitas (kesahihan)
suatu hadis terdapat perbedaan. Sebagai contoh antara kaum sufi dengan ahli
fiqh yang berbeda pendapat atas kesahihannya hadis tentang mimpi bertemu Nabi
Muhammad saw. Konteks hadis “Mimpi Bertemu Nabi Muhammad saw.” pulalah yang
penulis angkat dalam makalah ini. Di samping itu, penulis juga mengangkat
pembahasan mengenai “Isbat Awal Bulan Qamariyah”
1 Ahmad Warson Almunawir, Kamus Al-Munawwir,
(Surabaya: Pustaka Progresif,1997), hlm. 241.
2 Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2013),
hlm. 22.
3 Muhammad Hasbi Asshiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm.
132-133.
|
PEMBAHASAN
A. Hadis
tentang Mimpi Bertemu Nabi Muhammad saw.
1.
Beberapa Hadis
Dalam
kitab Matan Al-Bukhari termuat beberapa hadits tentang mimpi bertemu Nabi
Muhammad saw. Hadis-hadits tersebut terkumpul dalam bab Man Ra’a al-Nabi
saw. fi al-Manam. Hadis-hadis tersebut yaitu:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, قاَلَ سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَنِيْ فِى الْمَنَامِ
فَسَيَرَانِيْ فِى اْليَقَظَةِ, وَلَا يَتَـمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِيْ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
r.a. ia berkata, Aku mendengar Nabi Muhammad saw. Bersabda: “Barang siapa
meihatku di dalam tidur (mimpi) maka kelak ia akan melihatku dalam keadaan
terjaga. Setan tidak bisa menyerupaiku.”
Yang
kedua adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas r.a. sebagai berikut
ini.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ رَأَنِيْ فِى الْمَنَامِ فَقَدْ رَأَنِيْ,
فَاِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَـخَيَّلُ بِيْ
Dari Anas r.a. ia bekata, Nabi
Muhammad saw. Telah bersabda: “Barang siapa melihatku dalam keadaan tidur
(mimpi) maka dia benar-benar telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak bisa
menjelma sepertiku.”
Dalam
hadis yang lain:
عَنْ
أَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ رَأَنِيْ فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ
Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a.
ia berkata, Nabi Muhammad saw. telah bersabda: “Barang siapa melihatku, maka
sesungguhnya ia telah melihat al-haqq/ benar.”
Hadis
lain yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Hudry
عَنْ
أَبِيْ سَعِيْدِ الْحُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَنِيْ فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ
فَاِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَكَوَّنُنِيْ 1
Hadis-hadis
di atas, juga termuat dalam kitab Shahih Muslim. Hanya saja dalam
beberapa bagian terdapat perbedaan atau tambahan, namun esensinya tetap sama. Sebagai
contoh adalah hadis yang pertama di atas. Yakni hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah r.a. Di sini (Shahih Muslim) terdapat tambahan keterangan
sebagai berikut:
أَوْ لَكَأَنَّمَا رَأنِيْ فِى اليَقَظَةِ,
لاَيَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِيْ
1 Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Matan
Al-Bukhari, jil.4 (Semarang: Pustaka Thoha Putra, tt), hlm.211
|
2.
Pendapat Kaum Sufi
Banyak
kaum sufi yang mempunyai keyakinan memungkinkannya seseorang bertemu Nabi
Muhammad saw. secara langsung, padahal Nabi Muhammad saw. telah wafat
berabad-abad yang silam. Keyakinan kaum sufi yang seperti ini antara lain disebabkan
karena upaya mereka menafsirkan hadits shahih riwayat al-Bukhari dari Abu
Hurairah, sebagaimana berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ,
قاَلَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ
رَأَنِيْ فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِيْ فِى اْليَقَظَةِ, وَلَا يَتَـمَثَّلُ
الشَّيْطَانُ بِيْ
Menurut
penafsiran kaum sufi, berdasarkan hadits tersebut jelas sekali menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad saw. masih hidup dan bisa ditemui secara langsung oleh kaum
sufi. Apalagi kalau didahului dengan mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw.,
maka bisa dipastikan orang yang bermimpi tersebut akan mengalami pertemuan
secara langsung dengan Nabi Muhammad saw.
Munculnya penafsiran yang seperti
itu, menurut kaum sufi karena dalam hadits tersebut terdapat kata يقظة, yang
berarti dalam keadaan terjaga, tidak lagi dalam keadaan tidur, dalam keadaan sadar,
atau jelasnya adalah bertemu secara langsung. Oleh karena itu, banyak sekali
kaum sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. secara
langsung dan mendapatkan wirid-wirid tertentu, kitab, ilmu, bahkan di antara
mereka ada yang menyatakan bahwa seluruh ucapannya bersumber dari mulut Nabi
Muhammad saw.
Adapun
ahli ilmu hadis, mereka menyanggah. Mereka berpendapat bahwa penafsiran seperti
ini menunjukkan ketidaktahuan kaum sufi terhadap ilmu hadits dan kalau
penafsiran seperti ini dibiarkan beredar di masyarakat tanpa adanya kritik yang
membangun bisa menyebabkan umat tersesat. Secara tekstual hadits tersebut
memang mengindikasikan memungkinkannya seseorang bertemu dengan Nabi Muhammad
saw. Tetapi apakah arti pertemuan tersebut bersifat harfiah atau majazi.
Untuk
bisa menafsirkan hadits riwayat Imam al-Bukhari di atas, perlu memperhatikan
terlebih dahulu adakah hadits-hadits lain yang membicarakan tema yang sama.
Kalau ternyata ditemukan adanya riwayat lain, maka kita tidak boleh mengabaikan
riwayat-riwayat tersebut. Karena seperti halnya ayat al-Qur’an antara satu
dengan yang lain bisa saling menafsirkan, dalam hadits Nabi pun bisa berlaku
kaedah demikian, yakni antara satu riwayat dengan riwayat lainnya bisa saling
menafsirkan.
Menurut
penelitian Ibnu Hajar al-Asqalani, seperti di kutip oleh Usman Sya’roni,
hadits-hadits yang membahas mengenai mimpi jumlahnya banyak sekali. Imam
al-Bukhari dalam kitabnya shahih al-Bukhari, menghimpun sebuah bab
khusus yang dinamakan kitab al-Ta’bir, di dalam kitab tersebut terhimpun
sebanyak 99 hadits. Belum lagi imam-imam ahli hadits lainnya.
Untuk
menjawab pertanyaan bisakah seseorang bertemu secara langsung dengan Nabi
Muhammad saw., tidak bisa hanya mencukupkan riwayat Imam al-Bukhari saja.
Riwayat lain yang perlu diteliti, dan ini merupakan kunci untuk memahami hadits
mimpi bertemu Nabi Muhammad saw. adalah sebuah hadits riwayat Imam
Muslim. Di dalam kitabnya Shahih Muslim, beliau meriwayatkan sebuah
hadits melalui jalur Abu Hurairah berikut teks tersebut:
مَنْ رَأَنِيْ فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِيْ
فِى اْليَقَظَةِ, أَوْ لَكَأَنَّمَا رَأنِيْ فِى اليَقَظَةِ, لَا يَتَـمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِيْ
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia
akan melihatku dalam keadaan sadar atau seakan-akan ia telah melihatku. Dan
syetan tidak bisa menyerupai diriku”
Baik
riwayat Imam al-Bukhari maupun riwayat Imam Muslim, keduanya sama-sama melalui
jalur Abu Hurairah. Dilihat artinya, riwayat al-Bukhari nampaknya mempunyai
arti yang umum. Riwayat seperti ini membutuhkan riwayat lain untuk
menafsirkannya, tanpa didukung oleh riwayat lain yang semakna, maka akan sulit
bagi kita untuk menafsirkannya. Bahkan bisa jadi, akan keliru menafsirkannya
dan merusak makna yang sebenarnya dari hadits tersebut
Sementara itu riwayat Imam Muslim
nampaknya mempunyai arti yang lebih khusus, karena ia tepat sekali kalau
riwayat Imam Muslim di atas dijadikan sebagai penafsir dari riwayatnya Imam al-Bukhari.
Dengan demikian, makna hadits Siapa yang bermimpi melihatku, maka ia akan
melihatku secara nyata, tidak seperti yang dipahami kaum sufi selama ini
yakni benar-benar bertemu langsung dengan Nabi Muhammad saw., tetapi merupakan
sebuah pengandaian belaka. Kata kunci untuk menafsirkan hadits tersebut adalah
lafadz لكأنما yang berarti
suatu pengandaian.
Untuk mengetahui penafsiran hadits
tersebut secara luas, di sini dikemukakan beberapa pendapat ulama ahli hadits.
Menurut Imam al-Nawawi maksud teks
hadits من رآنى
فى المنام فقد رأى الحق adalah jika seseorang mimpi
bertemu dengan Nabi, maka mimpi tersebut tergolong mimpi yang benar. Adapun
maksud lafadz فسيرانى فى اليقظة mengandung tiga pengertian,
yaitu: (1)bagi orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw. namun tidak
sempat berhijrah, lalu orang tersebut bermimpi melihat Nabi Muhammad saw. maka
Allah akan memberikan taufiq-Nya kepada mereka sehingga bisa bertemu dengan Nabi
Muhammad saw.; (2)Akan bertemu Nabi Muhammad saw. di akhirat sebagai pembenaran
mimpinya, karena di akhirat setiap umatnya baik yang pernah bertemu maupun
belum, akan mengalami pertemuan langsung dengan beliau; (3)Melihat Nabi di
akhirat secara dekat dan mendapat syafaatnya.
Menurut
al-Qurthubi bahwa seseorang tidak mungkin mampu berada di satu tempat pada
waktu yang sama. Nabi Muhammad saw. telah wafat dan jasadnya telah terkubur,
maka secara logika tidak mungkin kalau mimpi bertemu dengan beliau adalah nyata
dan langsung karena bertentangan dengan akal.
Sementara
itu Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyimpulkan penafsiran terhadap hadits mimpi
bertemu Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari menjadi enam pendapat,
yaitu:
a. Hadits tersebut harus dipahami
secara perumpanaan (tasybih) karena haidts tersebut diperkuat dengan
riwayat lain yang dalam redaksinya ada lafadz yang menunjukkan arti perumpamaan
(لكأنما)
b. Orang yang mimpi bertemu Nabi
Muhammad saw. akan melihat kebenaran, baik secara nyata maupun hanya ta’bir
saja
c. Hadits tersebut dikhususkan kepada
orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw. yang belum sempat melihatnya
d. Bahwa orang yang mimpi tersebut
akan melihat Nabi Muhammad saw., seperti ketika bercermin, namun hal tersebut
sangat mustahil
e. Maknanya bahwa ia akan melihat Nabi
Muhammad saw. pada hari kiamat dan tidak dikhususkan bagi mereka yang telah
mimpi bertemu Nabi saja
Orang yang mimpi melihat Nabi,
maka ia akan melihatnya secara nyata. Pendapat ini sangat aneh dan masih
diperdebatkan.
Masih dikutip oleh Usman Sya’roni,
menurut Yusuf al-Qardlawi pengertian Hadits mimpi bertemu Nabi Muhammad saw.
dengan berbagai riwayatnya menunjukkan bahwa Allah memuliakan Nabi-Nya dan
memuliakan umat-Nya dengan mencegah syetan yang menampakkan dirinya dalam sosok
Nabi Muhammad saw. di dalam mimpi sekalipun. Tujuannya agar syetan tidak mempunyai
peluang untuk berdusta dengan lisan Nabi-Nya, dan supaya syetan tidak bisa
menyesatkan umat manusia. Allah memberikan kekuatan kepada syetan untuk merubah
dirinya dalam sosok apa saja, tetapi untuk menjelma seperti sosok Nabi Muhammad
saw. syetan tidak sanggup melakukannya. Oleh karena itu, siapa saja yang
melihat Nabi Muhammad saw. dalam mimpinya, maka orang tersebut sungguh telah
melihat Nabi Muhammad saw. dengan benar atau ia telah melihat kebenarannya,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits. Mimpi melihat Nabi Muhammad saw. tidak
bisa dikategorikan sebagai mimpi yang kosong dari makna dan juga bukan berasal
dari godaan syetan.
Dari sekian penafsiran para ulama
yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bertemu Nabi Muhammad saw.
setelah beliau wafat tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan akal sehat.
Syeikh Muhammad Khudar al-Syanjiti dalam bukunya Musytahi al-Kharaf
menyatakan bahwa melihat Nabi Muhammad saw. dalam keadaan mimpi memiliki dasar
hadits yang shahih, akan tetapi tidak dengan halnya bertemu dengan Nabi. Hal
ini tidak disebutkan dalam hadits, baik oleh hadits maudlu, munkar, ataupun
matruk.
Dengan
demikian pendapat yang mengatakan bahwa seseorang bisa bertemu secara langsung
dengan Nabi Muhammad saw. bukan berasal dari hadits yang shahih, tetapi
merupakan penafsiran kaum sufi. Banyaknya kaum sufi yang mengklaim pernah
bertemu dengan Nabi Muhammad saw. seakan-akan bisa dijadikan dalil kebenaran
penafsiran kaum sufi tersebut. Sedangkan untuk mengecek kebenaran mimpi bertemu
dengan Nabi Muhammad saw., langkah yang harus ditempuh adalah dengan menanyakan
kepada orang yang bermimpi tentang sifat Nabi Muhammad saw. yang ditemuinya
itu. Jika apa yang disebutkannya itu, cocok dengan sifat yang telah diterangkan
dalam riwayat-riwayat kitab hadits dan sirah, maka orang tersebut
benar-benar telah melihat Nabi Muhammad saw. dalam mimpinya. Sebaliknya, jika
tidak sesuai maka orang tersebut telah bermimpi belaka. Hal seperti inilah yang
dilakukan oleh Imam ahli ta’bir (tafsir) mimpi, Ibnu Sirin sebagai
dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al ‘Asqalani:
اِذَا
قَصَّ عَلَيْهِ رَجُلٌ اَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : صِفْ لِيَ الَّذِىْ رَأَيْتَ, فَإِنْ وَصَفَ لَهُ لَايَعْرِفُهَا قَالَ :
لَمْ تَرَهُ
2 Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis
Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008),
hlm. 117-123
|
3. Sanggahan
Ahli Ilmu Hadis terhadap Liqa’ al-Nabi
Secara
bahasa kata liqa’ berarti berjumpa, menghadap, dan melihat. Maka istilah
Liqa’ al-Nabi
berarti berjumpa Nabi, menghadap Nabi, dan melihat Nabi. Adapun nabi yang
dimaksud dalam istilah tersebut adalah Nabi Muhammad saw. Metode inilah yang
acap kali dijadikan oleh kalangan para sufi sebagai suatu metodologi untuk
menetapkan kesahihan suatu hadis. Banyak para tokoh sufi yang telah meng-klaim
dirinya berjumpa langsung dengan Nabi Muhammad saw., yang padahal Nabi Muhammad
saw. telah wafat berabad-abad yang lalu.
Bagi
orang atau golongan yang tidak mengenal dunia sufisme, atau tidak pernah
memasuki dunia sufisme, tampaknya hal tersebut di atas (pengalaman para sufi
bertemu Nabi Muhammad saw.) mereka sebut sebagai suatu hal yang irrasional,
sangat tidak mungkin, dan bertentangan dengan akidah mereka. Namun bagi kaum
sufi pengalaman tersebut dapat dibenarkan dan memang benar-benar bisa terjadi,
karena bisa diupayakan melalui wirid-wirid tertentu.
Dalam
penafsiran terhadap hadits “Barang siapa mimpi bertemu aku, ia akan melihatku
secara nyata”, oleh ahli hadis tidak ditemukan satu penafsiran yang menyatakan
kemungkinan seseorang bertemu dengan Nabi Muhammad saw.. secara langsung. Kalau
pun ada, menurut ahli hadis, penafsiran seperti itu merupakan utak atik kaum
sufi saja dan para ulama menilainya sebagai suatu penafsiran yang tidak masuk
akal. Tidak masuk akalnya penafsiran kaum sufi terhadap hadits di atas,
menjadikan penilaian otentisitas hadits melalui metode liqa’ al-Nabi
lemah secara metodologis, karena dalil yang dijadikan sebagai hujjah
tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sulitnya
menentukan kriteria kebenaran orang yang mengklaim bertemu dengan Nabi Muhammad
saw. menambah kelemahan metodologi mereka. Oleh karena itu, hadits-hadits yang
dishahihkan oleh kaum sufi melalui metode liqa’ al Nabi tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah atau landasan hukum menurut ahli ilmu hadis.
Adapun
mengenai hukum pengamalan dzikir-dzikir atau wirid-wirid yang menurut pengakuan
kaum sufi diperoleh melalui metode liqa’ al-Nabi terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Jika dzikir-dzikir atau wirid-wirid tersebut
pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. semasa hidupnya dan diamalkan oleh
para sahabatnya, maka sekadar mengamalkan dzikir-dzikir atau wirid-wirid
tersebut dinyatakan “boleh” hukumnya. Tetapi, jika pengamalannya didasari oleh
adanya khasiat-khasiat dari dzikir-dzikir atau wirid-wirid tersebut, maka
hukumnya haram. Kalau ditambah dengan keyakinan bahwa dzikir-dzikir atau
wirid-wirid diterima oleh para guru tarikat langsung dari Nabi Muhammad saw.
dan niat mengamalkannya agar bisa bertemu dengan Nabi Muhammad saw.
(sebagaimana banyak dilakukan oleh kaum sufi), maka hukumnya bisa lain, yaitu
dikhawatirkan pelakunya terjebak ke dalam perbuatan syirik, karena orang
tersebut beramal bukan semata-mata untuk Allah, tetapi untuk tujuan lain.
Mengenai
dzikir-dzikir atau wirid-wirid yang belum pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad
saw. dan maknanya tidak jelas, para ulama sepakat melarangnya. Hal ini
dikarenakan umat Islam telah tahu pasti dari agama ini bahwa Nabi Muhammad saw.
telah mengajarkan umatnya bagaimana cara berdzikir kepada Allah, memuji, dan
mengagungkan-Nya. Semuanya itu berdasarkan wahyu Allah kepada Rasul-Nya. Akan
tetapi, kaum sufi berbuat lain daripada yang lain. Mereka mengaku bahwa Nabi
Muhammad saw. mendatangi mereka setelah beliau wafat dan mengajarkannya
dzikir-dzikir atau wirid-wirid tertentu. Bukankah ini merupakan suatu bid’ah
dlalalah yang sengaja dibuat-buat? Apakah Nabi Muhammad saw. telah luput dalam
menyampaikan risalah semasa hidupnya, sehingga perlu mengajarkan dzikir-dzikir
atau wirid-wirid tertentu kepada orang-orang tertentu? Sungguh suatu kesalahan
besar, kalau menganggap agama ini belum sempurna dan perlu penambahan di sana sini, karena Allah
SWT telah berfirman:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا
“Pada hari
ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku
bagimu, dan telah Aku ridlai Islam sebagai agamamu” 3
Maka, tidak ada kebutuhan apa pun
setelah agama ini sempurna, baik itu dzikir-dzikir atau wirid-wirid, kitab,
maupun yang lainnya. Seandainya Nabi Muhammad saw. mempunyai kemampuan untuk
bertemu dengan orang yang masih hidup, bukanlah lebih baik untuk menjelaskan
bagaimana umat Islam ini keluar dari krisis. Tidaklah lebih baik Rasul datang,
misalnya, untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menimpa umat Islam, yang
membuat ulama pusing dan berselisih pendapat. Kalau benar, Nabi Muhammad saw.,
bisa menemui orang yang masih hidup, bukanlah lebih baik Nabi Muhammad saw.
melarang istrinya, ‘Aisyah, perang melawan menantunya ‘Ali bin Abi Thalib,
sehingga tidak terjadi pertumpahan darah di kalangan umat Islam.
3 Kementerian Agama RI, Nur al-Qur’an
Terjemah Tafsir Perkata, (Bandung: Insan Kamil, 2011), hlm. 107
|
Namun demikian, masih banyak
sekali kaum sufi terutama para pengikut tarikat, yang meyakini bahwa mursyidnya
atau pendiri tarikatnya bisa bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Jelasnya
rambu-rambu agama tidak membuat mata hati mereka terbuka dan mengikuti ajaran
yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya semasa hidup. Tampaknya mereka
lebih asyik terbuai dengan dunia spiritual yang gelap dan tak jelas arahnya.
Hanya hidayah Allahlah yang bisa menarik mereka kembali ke rel-rel syari’at
yang benar. Ini
pulalah pendapat atau buah pikiran yang dituangkan oleh ahli ilmu hadis untuk
menyanggah pendapat kaum sufi terhadap metodologi liqa’ al-nabi.
Diskusi mengenai klaim al-Tijani
bahwa ia melihat Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga terdapat dalam buku
Syeikh Abd al-Rahman Abd al-Khaliq yang edisi terjemahannya berjudul Penyimpangan-penyimpangan
Tasawuf. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Usman Sya’roni dalam bukunya,
Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Diskusi ini berasal dari
dua tokoh pengikut tarikat al-Tijaniyah yang setelah mengetahui
kebatilan-kebatilah tarikat ini, mereka kemudian meninggalkannya. Tokoh pertama
adalah Syeikh Muhammad bin al-‘Arabi al-‘Alawi, syeikh ini termasuk seorang
ulama terkemuka di Fez dan menjabat sebagai qadli. Sementara tokoh kedua adalah
Dr. Taqiyuddin al Hilali, syeikh tauhid dan sunnah di Maghrib (Maroko).
Pada awal sebelum terjadi diskusi,
Dr. Taqiyuddin sebenarnya telah merasa bosan mengikuti tarikat Tijaniyah,
karena banyaknya bid’ah-bid’ah dan sesuatu yang bertentangan dengan
ajaran Islam pada umumnya. Di tengah kebingungannya itu beliau Syeikh Muhammad
bin al ‘Arabi al ‘Alawi yang telah keluar lebih dahulu dari tarikat yang sama.
Berikut ini petikan diskusi tersebut:
Syeikh Muhammad bin al ‘Arabi al
‘Alawi berkata kepada Taqiyuddin al-Hilali: “Aku akan mendiskusikan dengan Anda
mengenai satu masalah, dan jika hal itu positif maka positiflah tarikat
seluruhnya. Dan jika hal itu batil maka batillah tarikat seluruhnya”.
Taqiyuddin al-Hilali bertanya: “Tentang masalah apa?”, Syeikh al-‘Alawi mengatakan:
“Mengenai dakwaan al-Tijani bahwa ia melihat Nabi Muhammad saw. dalam keadaan
jaga, bukan tidur. Lalu Nabi Muhammad saw. memberikan tarikat ini beserta fadlilah-fadlilahnya.
Jika memang benar al-Tijani bertemu Nabi Muhammad saw. dalam keadaan terjaga
dan menerima tarikat dari beliau, maka engkau berpijak pada kebenaran, dan aku
berpijak pada kebatilan, dan perkaranya harus dikembalikan kepada kebenaran.
Jika dakwaannya salah, maka aku ada pada kebenaran, dan kamu berada di atas
kebatilan. Maka wajib bagimu untuk meninggalkan kebatilan dan berpegang pada
kebenaran”. Kemudian Syeikh al-‘Alawi berkata: “Kamu yang akan mulai atau aku
yang akan memulainya”. Lalu syeikh berkata: “Aku memiliki dalil-dalil yang
cukup untuk menyangkal dakwaan al-Tijani”. Dijawabnya dengan “Tunjukkan dalil
Anda dan saya menjawabnya.”
Lalu Syeikh al-‘Alawi mulai
mengeluarkan dalil-dalilnya. Ia berkata: “Pertama, sesungguhnya
perselisihan pertama yang terjadi di antara para sahabat setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. disebabkan oleh masalah khilafah. Kaum Anshar mengatakan kepada
Muhajirin, bahwa hendaknya masing-masing memiliki amir (pemimpin)
sendiri. Muhajirin mengatakan, sesungguhnya bangsa Arab tidak tunduk kepada
kaum Quraisy yang hidup pada masa ini. Maka terjadilah perselisihan pendapat
antara dua kelompok sehingga melupakan pemakaman Nabi Muhammad saw. sampai tiga
hari lamanya. Mengapa beliau tidak menjelaskan kepada para sahabatnya, melerai
perselisihan, menunjuk seseorang sebagai khalifah, dan melarang pertikaian?
Mengapa beliau meninggalkan perkara besar ini? Seandainya beliau bisa berbicara
kepada seseorang dalam keadaan jaga setelah meninggalnya, pastilah beliau
berbicara kepada sahabat dan mendamaikan mereka. Hal ini lebih penting daripada
menampakkan diri kepada syeikh al-Tijani setelah berlalu masa seribu dua ratus
tahun. Untuk apa beliau menampakkan diri? Untuk mengatakan: “Kau termasuk
orang-orang yang aman, siapa yang mencintaimu, maka ia termasuk orang-orang
yang aman; siapa yang mengambil wiridmu, maka ia masuk surga tanpa hisab dan
balasan, bersama orang tuanya, istrinya, bukan besannya?” Kenapa Nabi Muhammad
saw. tidak menampakkan diri dalam keadaan terjaga dan berbicara kepada
sahabatnya mengenai masalah penting, kenapa justru beliau menampakkan diri
kepada seorang lelaki yang tidak setara keilmuannya dengan sahabatnya, bahkan
mendekati pun tidak?”
Taqiyuddin lalu menjawab: “Sesungguhnya
syeikh al-Tijani telah menjawab kritik ini di masa hidupnya. Nabi Muhammad saw.
menyampaikan sesuatu khusus kepada yang khusus dan yang sesuatu umum kepada
yang umum semasa hidupnya. Setelah beliau wafat, terputuslah penyampaian
sesuatu yang umum, maka tinggallah penyampaian yang khusus kepada yang khusus,
yang tidak akan terputus dengan wafatnya beliau. Yang beliau sampaikan kepada
syeikh kami, berupa wirid dan fadlilah-fadlilah, hal itu merupakan
penyampaian sesuatu yang khusus kepada yang khusus”.
Syeikh al-‘Alawi berkata lagi:
“Aku tidak menerima konsep syari’at umum dan syari’at khusus, karena
hukum-hukum syari’at itu lima. Wirid beserta fadlilahnya ini, jika
merupakan bagian dari agama, maka harus masuk dalam hukum lima tersebut, karena
merupakan suatu amal yang telah disediakan oleh Allah pahalanya. Hukum itu
adalah wajib atau sunnah. Nabi Muhammad saw. tidak pindah ke al-mala’ al-a’la
sampai beliau menjelaskan kepada umatnya seluruh kewajiban dan sunnah. Dalam shahih
al-Bukhari diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, dikatakan kepadanya,
Apakah Nabi Muhammad saw. mengkhususkanmu, wahai Ahl al-Bait, dengan
sesuatu hal? Ia menjawab, Demi Dzat yang memekarkan biji-bijian dan menciptakan
makhluk hidup, Nabi Muhammad saw. tidak mengkhususkan kami dengan sesuatu apa
pun kecuali pemahaman yang diberikan kepada seorang lelaki dalam Kitab Allah,
jika tidak maka apa yang ada di dalam shahifah ini? Maka, mereka
membukanya, ternyata berisikan pemahaman, pembebasan tawanan, seorang muslim
tidak dibunuh sebab seorang kafir.
Kenapa Nabi Muhammad saw. tidak
memberikan kekhususan kepada ahl al-bait dan khalifahnya, kemudian
beliau mengkhususkan kepada seorang lelaki di akhir zaman dengan hal yang bertentangan
dengan hukum-hukum al-Qur’an dan al-Sunnah?” Taqiyuddin menjawab: “Sesungguhnya
syeikh al-Tijani mengetahui al-Qur’an dan al-Sunnah. Jawabannya cukup memuaskan
bagi yang menerimanya.”
Syeikh al ‘Alawi berkata:
“Perhatikah hal ini!” Kedua, perselisihan Abu Bakar dengan Fathimah al-Zahra
mengenai warisan, tidak bisa dipungkiri bahwa Fatimah meminta dari Abu Bakar
haknya berupa warisan bapaknya dengan berhujjah jika beliau meninggal,
maka yang mewarisinya adalah anak-anaknya. Mengapa Abu Bakar menghalanginya
untuk mendapatkan warisan ayahnya. Lalu Abu Bakar menjawabnya bahwa Nabi
Muhammad saw. bersabda: “Kami segenap para Nabi tidak meninggalkan warisan. Apa
yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Peristiwa ini, dihadiri banyak sahabat.
Namun, tetap saja Fathimah al-Zahra’ marah kepada Abu Bakar hingga meninggal,
enam bulan setelah wafatnya sang ayah, Nabi Muhammad saw.
Kedua sahabat ini adalah kekasih Nabi
Muhammad saw. Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: “Fathimah adalah
bagian dariku, apa yang menyusahkannya, hal itu juga menyusahkanku”. Atau
seperti apa yang telah dijelaskan Nabi Muhammad saw. bahwa Abu Bakar adalah
manusia yang paling beliau cintai. Beliau juga mengatakan bahwa tidak ada yang
lebih dipercaya dalam masalah jiwa dan harta daripada Abu Bakar al Shiddiq. Keterangan
ini termuat dalah hadis al-Bukhari.
Sikap saling marah antara Fathimah
dan Abu Bakar ini jelas menyakiti Nabi Muhammad saw. Seandainya beliau bisa
menampakkan diri kepada seseorang setelah wafatnya karena suatu tujuan
tertentu, pastilah beliau menampakkan diri kepada Abu Bakar al-Shiddiq dan
berkata kepadanya, “Aku menarik kembali apa yang aku katakan padamu di masa
hidupku, maka berikan hak warisnya.” Atau pastilah, beliau menampakkan diri
kepada Fathimah dan berkata kepadanya, “Wahai anakku, jangan marah kepada Abu
Bakar, karena ia tidak melakukan kecuali apa yang aku perintahkan kepadanya.”
Taqiyuddin berkata kepada Syeikh al
‘Alawi bahwa aku tidak memiliki jawaban kecuali apa yang telah aku dengar.
Syeikh al-‘Alawi berkata: “Perhatikanlah hal ini!” Ketiga, yang terjadi
antara Thalhah dan Zubair serta ‘Aisyah di satu sisi, dan yang terjadi pada
‘Ali bin Abi Thalib di sisi yang lain. Perselisihan keduanya amat keras
sehingga terjadi perang Jamal di Bashrah dan memakan banyak korban dari
sahabat dan tabi’in, dan terbunuhnya unta ‘Aisyah. Bagaimana mungkin Nabi
Muhammad saw. menganggap remeh pertumpahan darah dan kejadian buruk antara umat
Islam ini, bahkan antar umat yang paling istimewa menurut Nabi Muhammad saw.,
sedangkan beliau bisa mencegah pertumpahan darah ini dengan satu kalimat? Allah
telah mengabarkan dalam akhir surah al-Taubah tentang kasih sayang dan rahmat
beliau kepada umat mukmin, dan bahwa setiap kemalangan yang menimpa mereka itu
menyakiti Nabi Muhammad saw.
Sesungguhnya telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, di mana ia merasa berat terhadap
penderitaanmu, dan ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
serta amat belas kasihan dan penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS at
Taubah: 128) Maka, Taqiyuddin menjawab bahwa ia tidak memiliki jawaban
kecuali apa yang ia dengar. Munculnya Nabi Muhammad saw. dan berbicara kepada
syeikh al-Tijani merupakan fadlilah dari Allah. Allah memberikan fadlilah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Syeikh al-‘Alawi berkata: “Ingat
hal ini dan pikirkan benar-benar”. Keempat, perselisihan Ali dengan
golongan Khawarij telah banyak menumpahkan darah. Seandainya Nabi Muhammad saw.
menemui pemimpin Khawarij dan memerintahkannya untuk taat kepada imamnya, maka
pertumpahan darah bisa dihindari. Lalu Taqiyuddin berkata bahwa jawabannya
adalah apa yang telah ia dengar.
Kemudian Syeikh al-‘Alawi berkata
kepada Taqiyuddin: “Ingat hal ini dan pikirkan dalam-dalam. Setelah Anda
berpikir, aku harap Anda kembali pada kebenaran.” Kelima, pertikaian
yang terjadi antara Mu’awiyah dan ‘Ali, yang banyak memakan korban dalam
peperangan antara keduanya, di antara korbannya adalah ‘Ammar bin Yasir.
Bagaimana Nabi Muhammad saw. tidak mau menemui manusia terbaik setelah beliau.
Kemunculan beliau ini akan membawa kemashlahatan yang penting bagi umat Islam,
mendamaikan di antara mereka, dan mencegah terjadinya pertumpahan darah.
Lalu mengapa kemudian Nabi
Muhammad saw. menemui Syeikh al-Tijani di akhir zaman untuk tujuan yang tidak
penting dalam dirinya dan tidak masuk akal, karena bertentangan dengan
nash-nash Al Qur’an dan Sunnah?” Taqiyuddin menjawab, “Aku tidak memiliki
jawaban selain di atas. Tetapi aku tidak menyerah pada Anda.” Lalu Syeikh al-‘Alawi
berkata: “Pikirkan dalil-dalil di atas dan kita akan bahas dalam diskusi yang
lain”.
Setelah diskusi yang pertama ini,
kemudian terjadi beberapa kali diskusi lagi dan akhirnya menghantarkan
Taqiyuddin al-Hilali kembali ke al Qur’an dan Sunnah dan meninggalkan
tarikatnya. Dengan demikian, bagi orang yang benar-benar menggunakan akal yang
sehat, sulit rasanya untuk mempercayai bahwa seseorang bisa bertemu Nabi Muhammad
saw. dalam keadaan jaga setelah Nabi Muhammad saw. wafat. 4
B. Isbat
Awal Bulan
1.
Beberapa Hadis
Isbat secara harfiah berarti
penyungguhan, penetapan, dan penentuan. Adapun sidang isbat asalah sidang
penetapan dalil syar'i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan
suatu kebenaran atau peristiwa yang terjadi. Sidang isbat juga bisa dilakukan dengan kedatangan sang
penuntut yang meminta haknya atau mencegah terjadinya penolakan terhadap hak
tersebut. Namun di Indonesia secara populer sidang isbat sering dikaitkan
dengan penetapan datangnya bulan qomariyah.
Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam kitabnya Al-Lu’lu’
wa al-Marjan menyebutkan beberapa hadis tentang isbat awal bulan.
Hadis-hadis tersebut terkumpul dalam bab Kitab al-Shiyam. Hadis yang
pertama adalah hadis dari Abd Allah bin Umar sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ
تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
Dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa Nabi
Muhammad saw. menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu beliau bersabda:
“Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal (bulan sabit) dan jangan
pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila hilal terhalang, maka
perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan).”
4 Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis
Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008),
hlm. 136
|
Berikutnya
adalah hadis dari Abu Hurairah ra.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
ثَلَاثِينَ
"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah
melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan
apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30
hari.” 5
2. Metode
Ru’yah al-Hilal
Metodologi penentuan awal bulan qamariah,
baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal, dan bulan lainnya harus
didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyah al-hilal bi al-fi'l).
Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu
prosesi rukyat.
Jumhur al-madzahib (mayoritas imam madzhab,
selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri
diperbolehkan menjadikan ru'yah al-hilal sebagai dasar penetapan
awal bulan qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, seperti yang
terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukumnya antara lain:
a. Hadis muttafaq
alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) dari Abu
Hurairah, yang berbunyi:
حدَّثَنَا
آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Arti matan:
"Berpuasalah kalian pada saat
kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah
melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka
genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari."
5 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Lu’lu wa
al-Marjan, terj. Ahmad Sunarto, (Semarang: Pustaka Nuun), hlm. 206
|
b. Kenyataan yang terjadi pada masa Nabi
Muhammad saw., bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada
beliau persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia
melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan.
Sebagaimana dalam hadits:
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي
رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ
أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ
فَلْيَصُومُوا غَدًا
"Datang seorang Badui ke Nabi
Muhammad saw seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan,
perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal
Ramadhan). Nabi Muhammad saw bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya
berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata:
Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa
besok."6
3. Menentukan
Awal Bulan dengan Hisab
Hisab arti harfiahnya adalah
perhitungan. Metode hisab berarti
rangkaian proses perhitungan yang digunakan untuk menentukan arah suatu tempat
dari tempat lain, atau menentukan posisi geometris benda benda langit untuk
kemudian mengetahui waktu saat di mana benda langit menempati posisi tersebut,
atau mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum.
Metode hisab yang dipakai oleh kalangan Muhammadiyah,
sekurang-kurangnya meliputi 4 (empat) obyek, yaitu (1)hisab arah kiblat,
(2)hisab waktu-waktu salat, (3)hisab awal bulan qamariyah, dan (4)hisab gerhana
matahari dan bulan. Dalam penulisan ini, uraian difokuskan pada hisab awal
bulan qamariah dengan pertimbangan bahwa penggunaan hisab untuk arah kiblat,
waktu-waktu salat, dan gerhana tidak mengundang banyak kontroversi di
masyarakat. Sedangkan penggunaan hisab untuk menentukan awal bulan qamariah
hingga sekarang masih menjadi polemik antara mereka yang mengabsahkan
penggunaannya dengan yang menolaknya. Bahkan di kalangan warga Muhammadiyah
sendiri masih ada yang mempertanyakan keabsahan penggunaan hisab tersebut
sehubungan dengan jelasnya sabda Nabi Muhammad saw. tentang rukyat yang
memerintahkan puasa dan lebaran setelah terlihatnya hilal dan larangan mulai
puasa dan lebaran sebelum terlihatnya hilal.
6 http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,52920-lang,id-c,syariah,
Rukyatul+Hilal+Cara+Sah+Me nentukan+Awal+Ramadhan-.phpx diakses tanggal 7 April 2015
pukul 19.47 wib
|
Terdapat banyak pandangan mengenai penentuan
penanda awal bulan qamariyah, lima di antaranya yaitu:
Pertama, ijtimak sebelum fajar;
awal bulan qamariyah ditandai dengan terjadinya ijtimak (konjungsi) bulan
dan matahari sebelum terbit fajar. Kombinasi fenomena ijtimak bulan-matahari
dan terbit fajar merupakan penanda awal bulan baru qamariyah bagi pandangan
ini. Ijtimak bulan-matahari yang terjadi sebelum terbit fajar menunjukkan bahwa
sejak saat terbit fajar tersebut bulan baru (tanggal 1bulan baru) qamariyah
dimulai. Dengan kata lain, awal bulan baru qamariyah dimulai sejak terbit fajar
yang terjadi menyusul setelah terjadinya ijtimak bulan-matahari. Sebaliknya,
terbit fajar yang terjadi menjelang terjadinya ijtimak bulan-matahari merupakan
hari terakhir dari bulan qamariyah yang sedang berlangsung.
Kedua, ijtimak sebelum gurub (terbenam
matahari); awal bulan qamariyah ditandai dengan terjadinya ijtimak (konjungsi)
bulan dan matahari sebelum terbenam matahari. Kombinasi fenomena ijtimak
bulan-matahari dan terbenam matahari merupakan penanda awal bulan baru qamariyah
bagi pandangan ini. Ijtimak bulan-matahari yang terjadi sebelum terbenam
matahari menunjukkan bahwa sejak saat terbenam matahari tersebut bulan baru
(tanggal 1 bulan baru) qamariyah dimulai. Dengan kata lain, awal bulan baru qamariyah
dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi menyusul setelah terjadinya
ijtimak bulan-matahari. Sebaliknya, terbenam matahari yang terjadi menjelang
terjadinya ijtimak bulan-matahari merupakan hari terakhir dari bulan qamariyah
yang sedang berlangsung.
Ketiga, bulan terbenam setelah matahari
terbenam; awal bulan qamariyah ditandai dengan pertama kalinya matahari
terbenam sebelum terbenam bulan, atau pertama kalinya terbenam bulan sesudah
terbenam matahari. Kombinasi fenomena terbenam matahari dan terbenam
bulan merupakan penanda awal bulan baru qamariyah bagi pandangan ini. Terbenam
matahari yang pertama kali terjadi sebelum terbenam bulan menunjukkan bahwa
sejak saat terbenam matahari tersebut bulan baru (tanggal 1 bulan baru) qamariyah
dimulai. Dengan kata lain, awal bulan baru qamariyah dimulai sejak terbenam
matahari yang terjadi sebelum terbenam bulan. Sebaliknya, terbenam
matahari yang terjadi menjelang terjadinya sesudah terbenam bulan menunjukkan
awal bulan baru qamariyah belum dimulai.
Keempat, imkanur-rukyat; awal bulan qamariyah
dimulai sejak terbenam matahari manakala ketinggian bulan saat itu mencapai
tingkat sedemikian rupa sehingga dalam keadaan normal tanpa ada gangguan bulan
mungkin atau bahkan dipastikan dapat dilihat. Ukuran ketinggian bulan yang
mungkin dapat dilihat tersebut oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh
Kementerian Agama RI ditetapkan 02° di atas ufuk (horizon). Ketinggian bulan
minimum 02° dan terbenam matahari ini merupakan kombinasi fenomena alam yang
menandai dimulainya awal bulan baru qamariyah. Jika pada suatu ketika, saat
terbenam matahari ketinggian bulan minimum 02°di atas ufuk, maka saat itu
dimulailah tanggal 1 bulan baru qamariyah, sebaliknya apabila ketinggian bulan
tidak mencapai batas minimum tersebut maka awal bulan baru qamariyah belum
dimulai.
Kelima, wujudul-hilal; awal bulan baru qamariyah
dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi untuk pertama kalinya setelah
terjadi ijtimak bulan-matahari dan sebelum terbenam bulan. Jadi untuk dapat
ditetapkan tanggal 1 bulan baru qamariyah pada saat matahari terbenam tersebut
harus terpenuhi tiga syarat secara kumulatif, yaitu sudah terjadi ijtimak
bulan-matahari, ijtimak bulan-matahari terjadi sebelum terbenam matahari, dan
pada saat terbenam matahari bulan belum terbenam. Jika salah satu saja dari
tiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka awal bulan baru qamariyah tidak dapat
ditetapkan.
Seperti terlihat dalam uraian di atas, acuan
dalam penetapan awal bulan qamariyah adalah fenomena bulan, meskipun persis
fenomenanya bervariasi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa acuan pokok dalam
penentuan awal bulan qamariyah adalah bulan. Firman Allah swt dalam surat Yunus
(10) ayat 5:
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ
يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui.”
Adapun hadis Nabi saw yang memberi isyarat
demikian cukup banyak, salah satunya adalah hadis Nabi saw yang diriwayatkan
oleh imam al-Bukhari.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ:
لاَتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ
فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَه
Arti matan:
“Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan
janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika bulan terhalang oleh
awan terhadapmu, maka perkirakanlah.”7
7 http://tarjih.muhammadiyah.or.id/artikel-metode-hisab-muhammadiyah-detail-180.html#_ftn14 diakses
tanggal 7 April 2015 pukul 20.54
|
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa hadis tentang mimpi
bertemu Nabi Muhammad saw. diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Anas, Abu Qatadah,
dan Abu Sa’id al-Khudriy. Kaum sufi menafsiri hadits tersebut bahwa
Nabi Muhammad saw. bisa ditemui secara langsung dan terkadang mereka mendapatkan wirid-wirid tertentu,
kitab, atau ilmu langsung dari Nabi Muhammad saw. Adapun
ahli ilmu hadis berpendapat bahwa penafsiran itu menunjukkan ketidaktahuan kaum
sufi.
Penafsiran para ulama, bahwa
bertemu Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat tidak dapat dibenarkan dan
bertentangan dengan akal sehat. Kalau melihat Nabi Muhammad saw. dalam keadaan
mimpi memiliki dasar hadits yang shahih. Pendapat yang mengatakan bahwa
seseorang bisa bertemu secara langsung dengan Nabi Muhammad saw. bukan berasal
dari hadits yang shahih, tetapi merupakan penafsiran kaum sufi. Untuk mengecek
kebenaran mimpi tersebut harus ditempuh dengan mencocokkan dengan sifat yang
telah diterangkan dalam riwayat-riwayat kitab hadits dan sirah Nabi.
Metodologi penentuan awal bulan
qamariah, harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyah
al-hilal bi al-fi'l). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab)
dipakai untuk membantu prosesi rukyat. Dasarnya antara lain:
Hadis muttafaq alaihi dari Abu Hurairah. Metode hisab dipakai kalangan Muhammadiyah,
sekurang-kurangnya meliputi 4 (empat) obyek, (1)hisab arah kiblat, (2)hisab
waktu-waktu salat, (3)hisab awal bulan qamariyah, dan (4)hisab gerhana.
Lima di antara penentuan awal
bulan qamariyah yaitu: (1)ijtimak sebelum fajar, (2)ijtimak sebelum gurub,
(3)bulan terbenam setelah matahari terbenam, (4)imkanur-rukyat, dan
(5)wujudul-hilal. Penetapan awal bulan qamariyah adalah fenomena bulan,
meskipun bervariasi fenomenanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, Al-Lu’lu
wa al-Marjan, terj. Ahmad Sunarto, Semarang: Pustaka Nuun, 2014
Al-Bukhari,
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail, Matn al-Bukhariy. juz.4, Semarang:
Pustaka Thoha Putra, tt.
Almunawir, Ahmad Warson, Kamus
Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif,1997
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar
Studi Ilmu Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kausar,
2013
Asshiddieqy, Muhammad Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009
Al-Nawawiy,
Muhammad, Murah Labid Li Kasyf Ma’na Qur’an Majid. Juz. 1, ttp: Dar
al-Kutub al-Islamiyah, tt.
Sya’roni, Usman, Otentisitas
Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
Kementerian Agama RI, Nur
al-Qur’an Terjemah Tafsir Perkata, Bandung: Insan Kamil, 2011
Komentar
Posting Komentar